Foto udara juga menunjukkan sebaran retakan tanah terjadi secara intensif menuju ke hilir. Retakan tanah mengarah ke timur laut dan barat daya.
“Kami masih identifikasi di mahkota longsor, apakah retakan yang terjadi ini akan berpotensi menarik bagian di atasnya lagi,” ujarnya.
Titik longsor ini melingkar dari sisi barat, utara hingga timur dengan retakan-retakan kecil dengan arah tegak lurus (90 derajat) dari arah sesar.
Kondisi ini membuat potensi bencana ganda, yakni banjir dan longsor sekaligus. Risiko banjir dikarenakan jaringan sungai kecil sudah terbentuk sejak dari hulu hingga hilir.
Sementara potensi longsor kian besar karena masuknya air ke dalam retakan-retakan tanah akan membuat lapisan tanah dan batuan lapuk di area terdampak menjadi lembek dan mudah mengalami sliding (pergeseran).
Potensi terjadinya longsor susulan makin besar karena hingga saat ini area terdanpak belum dilakukan upaya penanganan.
Rekahan tanah yang ada di kawasan perkampungan dibiarkan menganga tanpa ada upaya penutupan, sehingga air dengan mudah masuk ke dalam tanah dan membentuk jalur longsor.
“Retakannya seperti yang kita lihat belum tertangani dengan baik. Kemudian daerah ini juga masuk daerah lemah, karena di bagian barat daya itu ada sesar yang memanjang. Ada retakan-retakan yang intensif dan itu konsisten mengarah ke sesar sesuai peta geologi,” katanya.
Tak hanya itu di kawasan jalur longsor terdapat aliran sungai yang ikut membawa material tanah ke arah hilir. “Jadi potensi longsor susulan masih besar, bahkan bisa juga rawan banjir,” kata Okto.
Secara geologi, lanjut dia, tanah gerak dan longsor di Desa Ngrandu, Kecamatan Suruh ini dipicu oleh multifaktor.
Selain faktor intensitas hujan dengan curah tinggi, kondisi batuan penyusun yang didominasi batuan vulkanik tua serta tata guna lahan yang kurang mempertimbangkan keseimbangan alam turut memicu terjadinya bencana tanah gerak di daerah ini.
“Curah hujan hujan cukup berperan, apalagi di dua bulan terakhir ini sangat tinggi. Dampaknya batuan yang ada di sini yaitu batuan vulkanik kurang padu kemudian daerah lemah karena berdekatan dengan sesar,” ujarnya.
Tim peneliti dari PVMBG ini bekerja mulai Senin (13/1) hingga Jumat (17/1). Tugas pokok dan fungsi tim kerja dari Badan Geologi Kementerian ESDM ini adalah melakukan pemetaan geologi, kemudian ada pemetaan batuan penutup, batuan penyusun di permukaan, kemudian identifikasi geologi untuk mengetahui apakah ada sesar atau patahan.
Selanjutnya mereka akan mengeluarkan rekomendasi berupa peta situasi yang menampilkan mahkota longsor, retakan, arah longsoran dan potensi longsor ke depan.
Hasil penelitian bakal disampaikan ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Trenggalek untuk ditindaklanjuti sebagai landasan untuk menentukan kebijakan.
“Akan diketahui, apakah daerah ini masih bisa ditanggulangi secara mandiri atau harus relokasi. Kami juga diminta untuk meneliti lokasi yang rencananya akan digunakan sebagai tempat relokasi,” kata Okto.( wa/ar)